Penelitian ini menganalisis pengaruh norma sosial terhadap keputusan perempuan dalam memilih bekerja, serta dampak keputusan laki-laki dalam mengizinkan atau melarang partisipasi kerja perempuan yang dilakukan oleh Diahhadi Setyonaluri, PhD dan timnya, yaitu Lisa Cameron (University of Melbourne) dan Diana Conteras Suárez (Melbourne Institute), pada tahun 2022. Penelitian juga membahas efek dari intervensi daring terhadap norma sosial yang dapat mengakibatkan perubahan atau pengaruh pada keputusan individu.
Di Indonesia, tren partisipasi tenaga kerja telah mengalami fluktuasi dengan tingkat stagnan sekitar 50% walaupun negara ini telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan selama tiga dekade terakhir. Konteks norma sosial di Indonesia juga menjadi perhatian, yang dikuatkan oleh berbagai survei. Hasil survei World Value Survey 2018 mencatat bahwa 76% laki-laki dan 74% perempuan sepakat bahwa laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan untuk bekerja dibandingkan perempuan. Survei Gallup juga menunjukkan bahwa 43% laki-laki lebih memilih untuk beraktivitas di rumah. Temuan ini sejalan dengan situasi di Arab Saudi dan bahkan melebihi angka di India (35%).
Penelitian ini memiliki dua tujuan: pertama, memahami norma gender terkait partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Indonesia, mencakup norma yang diakui oleh individu dan juga persepsi mereka mengenai norma yang diyakini oleh masyarakat; kedua, mengidentifikasi tingkat dukungan perempuan terhadap partisipasi kerja sesama perempuan, dukungan laki-laki terhadap partisipasi dalam peran merawat anak, dan dukungan dari ibu atau ibu mertua terhadap partisipasi perempuan dalam pekerjaan. Norma-norma ini menjadi perlakuan dalam studi intervensi yang dilakukan.
Studi ini terbagi menjadi dua bagian, dimulai dengan survei daring pertama yang melibatkan 1050 responden (50% laki-laki dan 50% perempuan). Hasil survey pertama terkait perilaku individu yang mendukung perempuan bekerja menemukan bahwa 62% laki-laki mendukung perempuan untuk bekerja. Menariknya ketika para responden laki-laki diberikan pertanyaan injunctive norms terkait responden lainnya yang sepakat mendukung perempuan bekerja, mereka meyakini 59% dari laki-laki lainnya yang memiliki karakteristik yang sama mendukung perempuan bekerja. Sedangkan untuk responden perempuan, mereka meyakini bahwa 64% laki-laki yang memiliki karakteristik yang sama dengan suami merekalah yang mendukung perempuan bekerja. Adanya gap antara persepsi laki-laki dan perempuan mengindikasikan bahwa laki-laki lebih “meremehkan” pendapat laki-laki lain yang sebenarnya mendukung perempuan bekerja.
Lebih lanjut pada saat pertanyaan yang sama ditanyakan ke responden perempuan, sebanyak 76% responden perempuan mendukung perempuan untuk bekerja. Ketika para responden perempuan diberikan pertanyaan injunctive norms terkait responden lainnya yang sepakat mendukung perempuan bekerja, mereka meyakini 67% dari perempuan lainnya yang memiliki karakteristik yang sama mendukung. Sedangkan untuk responden laki-laki, mereka meyakini bahwa hanya 59% perempuan yang memiliki karakteristik yang sama dengan istri merekalah yang mendukung perempuan bekerja. Perbedaan gap inilah yang menjadi informasi pada survei tahap 2.
Terkait dengan pertanyaan dukungan laki-laki untuk pengasuhan anak, sebanyak 90% laki-laki mendukung pembagian pengasuhan anak dengan pasangan. Namun ketika responden laki-laki diberikan pertanyaan injunctive norms terkait responden lainnya yang sepakat berbagi pengasuhan anak, mereka meyakini bahwa hanya 65% laki-laki yang bersedia melakukannya. Sedangkan untuk responden perempuan, mereka meyakini hanya 64% laki-laki yang memiliki karakteristik yang sama dengan suami merekalah yang mendukung pembagian pengasuhan anak.
Selanjutnya ketika pertanyaan yang sama ditanyakan ke responden perempuan, sebanyak 96% perempuan mendukung adanya pembagian pengasuhan anak dengan pasangan. Namun ketika responden perempuan diberikan pertanyaan injunctive norms terkait responden lainnya yang sepakat berbagi pengasuhan anak dengan pasangan, mereka meyakini bahwa hanya 79% perempuan yang mendukung pembagian pengasuhan dengan pasangan, dan responden laki-laki meyakini hanya 76% dari perempuan dengan karakteristik yang sama dengan istri mereka yang mendukung.
Hasil lain dari survei pertama menujukkan bahwa ibu dan ibu mertua dari responden adalah kelompok referensi yang paling penting, dan hal ini dikonfirmasi oleh keyakinan responden terhadap pandangan mereka serta tingkat perhatian responden terhadap pandangan kelompok ini. Selain itu, terkait sanksi sosial jika norma tidak diikuti, responden mengungkapkan kekhawatiran bahwa ibu dari responden akan berpikir bahwa suami tidak mampu memberikan nafkah. Sedangkan bagi responden laki-laki, keprihatinan tertinggi adalah pandangan ibu yang menganggap keluarga mereka menghadapi kesulitan keuangan.
Langkah selanjutnya dalam pengumpulan data melibatkan intervensi dengan sampel yang lebih besar, yaitu sebanyak 4478 responden dengan karakteristik yang serupa dengan survei awal. Terdapat tiga perlakuan atau treatment dalam studi ini, yang mana informasi diberikan kepada responden mengenai dukungan aktual yang diberikan oleh laki-laki dan perempuan terhadap partisipasi perempuan dalam dunia kerja, dibandingkan dengan perkiraan mereka mengenai jumlah orang yang mendukung partisipasi perempuan dalam bekerja. Kolaborasi dilakukan dengan Skill Academy untuk menyediakan voucher pelatihan senilai Rp 100.000,00 serta voucher belanja senilai Rp 100.000,00 sebagai insentif. Jika responden memilih opsi “career mentoring force,” hal ini dianggap sebagai dukungan terhadap partisipasi perempuan dalam dunia kerja.
Dari hasil analisis regresi, jika diasumsikan bahwa efek dari tiga treatment relatif sama, temuan menunjukkan bahwa treatment satu, dua, dan tiga secara serupa meningkatkan dukungan responden terhadap partisipasi perempuan dalam bekerja, terutama tercermin dalam pemilihan mentoring karier dibandingkan voucher belanja. Temuan ini menunjukkan bahwa attitude keseluruhan responden memiliki peningkatan sekitar 25% dalam mendukung partisipasi perempuan dalam bekerja, dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Selanjutnya, ketika menganalisis efek pada laki-laki dan perempuan secara terpisah, ketiga treatment memiliki dampak serupa dalam meningkatkan dukungan terhadap partisipasi perempuan dalam bekerja, khususnya untuk dampak pada perempuan. Treatment ketiga, yang memberikan informasi yang komprehensif melibatkan pandangan perempuan, laki-laki, dan ibu/ibu mertua, memiliki dampak yang paling kuat.
Bagi responden laki-laki, memberikan informasi tentang dukungan dari laki-laki lain terhadap perilaku berbagi tugas pengasuhan anak telah terbukti efektif dalam mendorong perubahan norma dan dukungan terhadap partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Namun, hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa pada kelompok perempuan yang tidak bekerja atau istri dari laki-laki yang tidak bekerja, tidak ada hasil signifikan dari treatment. Namun, pada kelompok laki-laki yang memiliki istri tidak bekerja, paparan yang lebih tinggi terhadap konsep berbagi tugas pengasuhan anak meningkatkan dukungan mereka terhadap partisipasi istri dalam dunia kerja. Sedangkan pada kelompok perempuan yang bekerja, treatment ketiga yang memberikan informasi yang komprehensif memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pemilihan mentoring karier.
Penelitian ini mengindikasikan bahwa paparan informasi mengenai dukungan masyarakat terhadap perilaku tertentu memiliki potensi untuk mengubah norma sosial dan mengurangi tingkat dukungan dari individu terhadap norma tersebut. Temuan dari analisis terhadap tiga treatment menunjukkan bahwa efek dari treatment memiliki dampak signifikan, khususnya pada laki-laki, terutama pada mereka yang istri mereka tidak bekerja. Dalam konteks ini, penyediaan informasi yang lebih lengkap dan luas dapat mengatasi kekhawatiran suami akan dampak finansial serta mengatasi isu yang muncul dari survei awal, di mana 20% perempuan melaporkan tidak bekerja karena keinginan suami. Selanjutnya, paparan informasi mengenai dukungan masyarakat secara signifikan berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi kerja perempuan sekitar 6%.
Implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah penggunaan intervensi daring yang sederhana, seperti kampanye masyarakat melalui platform online, memiliki potensi dalam merubah norma sosial terkait partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Terdapat pengakuan bahwa perubahan norma gender mampu mendorong peningkatan partisipasi kerja perempuan, namun perlu diingat bahwa solusi tunggal tidak cukup dan harus ditemani dengan kebijakan pendukung, seperti fasilitas penitipan anak. Hal ini dianggap penting karena kesulitan mencari pengasuh anak sering kali menjadi alasan perempuan untuk tidak bekerja.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi narahabung:
Finda Prafianti, S.Sos.
Corporate Secretary Lembaga Demografi FEB UI
corsec@ldfebui.org
08119692610